Kesederhanaan

on Wednesday, September 10, 2008

Rubrik: Taujihat Tgl: 25/5/2005
Oleh Syamsu Hilal

Pada suatu kesempatan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz shalat Jum’at di masjid bersama masyarakat dengan baju yang bertambal di sana-sini. Salah seorang jamaah bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepadamu kenikmatan. Mengapa tak mau kau pergunakan walau sekedar berpakaian bagus?” Umar bin Abdul Aziz tertunduk sejenak, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata, ”Sesungguhnya berlaku sederhana yang paling baik adalah pada saat kita kaya, dan sebaik-baik pengampunan adalah saat kita berada pada posisi kuat.”
PKS Online: Tahun 1986, sewaktu di SMA 13 dulu, ada seorang teman sekelas dari kalangan orang berada beberapa kali mengenakan pakaian seragam sekolah dengan satu atau dua tambalan di bagian bahu dan lengan. Beberapa teman lain, sering mengingatkannya agar mengganti seragamnya dengan yang baru. Tapi, sambil tersenyum, teman itu berkata, ”Tanggung ah, sebentar lagi juga lulus!”


Meski mengenakan pakaian bertambal, teman saya ini tidak merasa malu, risih, atau rendah diri. Dan teman-teman yang lain pun tidak memandang rendah atau menganggapnya miskin, karena memang dia bukan orang miskin. Ketika sebagian besar siswa lainnya berangkat sekolah dengan berjalan kaki, bersepeda, atau naik kendaraan umum, teman yang satu ini mengendarai sepeda motor. Pada waktu itu, hanya beberapa siswa saja yang ke sekolah dengan sepeda motor. Belum ada yang membawa mobil seperti anak SMA sekarang.

Ceritanya, mungkin, akan lain bila yang mengenakan seragam bertambal itu adalah saya, yang alhamdulillah, berasal dari keluarga sederhana. Barangkali teman-teman lain tidak ada yang berani mengingatkan saya agar membeli seragam baru. Dan mungkin juga teman-teman memaklumi saya, jika waktu itu saya menegenakan seragam bertambal. Dan saya pun, mungkin, akan merasa malu, risih, atau rendah diri.

Maka benarlah, nasihat Khalifah Umar bin Abdul Aziz di atas. Bahwa gaya hidup sederhana yang ditampilkan orang kaya, sedikit pun tidak akan membuatnya rendah atau hina. Orang-orang pun tidak akan mencibirnya. Bahkan sebaliknya, bisa jadi orang lain kagum melihat gaya hidup sederhana orang kaya tersebut. Seperti komentar raja Romawi terhadap perilaku sederhana Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Ketika mendengar kabar Umar bin Abdul Aziz wafat, Kaisar Romawi yang paling sengit memusuhi Islam pada waktu itu berkata, ”Aku tidak heran bila melihat seorang rahib yang menjauhi dunia dan melulu beribadah. Tapi, aku betul-betul heran ketika melihat seorang raja yang memiliki kekayaan begitu besar, lalu dibuangnya jauh-jauh, sehingga ia hanya berjalan kaki dan lebih memilih kehidupan seperti layaknya fakir miskin.”

Umar bin Abdul Aziz adalah cermin yang tak pernah pudar. Sejarah hidupnya abadi, dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang senantiasa mendambakan kemudahan ketika dihisab di yaumil akhir kelak. Kedudukan, kekuasaan, dan kekayaan yang ada di tangannya tidak membuat dirinya berpenampilan perlente, meskipun pejabat-pejabat lain yang merupakan bawahannya banyak yang berpenampilan mewah. Tak sedikit pun ada di benak Khalifah Umar bin Abdul Aziz kekhawatiran kalau-kalau rakyat, para pejabat, atau kepala negara lain meremehkannya atau menganggapnya kere lantaran berpenampilan sederhana.

Kedudukan dan kekayaan pasti akan menjadi ganjalan dan memperlambat hisab pada hari dimana semua manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan Pengadilan Allah Swt. Pengadilan Allah Swt. sangat berbeda dengan pengadilan manusia di dunia. Di pengadilan dunia masih sering terjadi bias dan kekeliruan, sehingga seseorang dapat lepas dari jerat hukum. Sementara di pengadilan akhirat, tak seorang pun yang bisa lolos dari hukum Allah Swt.

Bukti-bukti yang ditampilkan di pengadilan dunia juga kurang detil dan tidak rinci, sehingga seseorang dapat berkilah, berdalih, dan menghilangkan barang bukti. Sebaliknya, di pengadilan akhirat semua perilaku manusia dibentangkan, seperti keping VCD yang sedang menampilkan semua rekaman sepak terjang manusia selama hidup di dunia. Kalau di pengadilan dunia, hitungan angka-angka masih mengenal pembulatan, maka di pengadilan akhirat istilah pembulatan angka itu tidak berlaku. Semuanya ditampilkan secara detil dan terperinci.

”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula” (QS Al-Zalzalah: 7-8).

Pada sebuah pengajian di Pondok Gede, seorang ustadz mengungkapkan kekhawatirannya melihat penampilan sebagian kader dakwah yang mengarah kepada – menurut istilah beliau – gaya hidup Qarunisme. Ustadz tersebut mengungkapkan beberapa gejala tanaafus bii al-maal (berlomba-lomba dalam harta), seperti semangat memiliki rumah baru, mobil baru yang tidak cuma mempertimbangkan fungsinya, handphone canggih meski pemanfaatannya tidak optimal, pakaian perlente, rapat dari hotel ke hotel, dan lain-lain.

Beberapa di antara mereka, lanjut sang ustadz, mulai berusaha mendapatkan proyek dengan memanfaatkan akses politiknya. Alasan mereka, ”Daripada proyek itu diambil oleh kaum oportunis dan para petualang politik, lebih baik proyek itu diberikan kepada kader dakwah. Pasti akan lebih bermanfaat.”

Sang ustadz pun menambahkan, sebagian di antara mereka, terutama aleg di daerah-daerah, ada juga yang menerima amplop yang semestinya ditolak. Mereka beralasan, ”Daripada ditolak dan nantinya digunakan oleh orang lain untuk foya-foya atau hura-hura, lebih baik diterima dan digunakan untuk kepentingan masyarakat atau untuk dakwah. Bahkan ada aleg di daerah yang ketika ditegur mengapa menerima amplop, ia menaawab, lupa” Di akhir ceramahnya, sang ustadz mengingatkan kepada para jamaah agar tidak malu hidup dalam kemiskinan atau kesederhanaan. Beliau lalu mengkampanyekan penerapan pola hidup sederhana.

Kekhawatiran serupa diangkat oleh salah seorang ustadz pada pertemuan anggota ahli se-Kota Bekasi di Jati Asih. Sang ustadz yang menjadi pembicara pada waktu itu menengarai adanya gejala tanaafus bii al-maal di beberapa kalangan kader dakwah.

Sekedar mengingatkan, kalau dulu dalam setiap majelis-majelis pertemuan, para ikhwah atau akhwat selalu membawa Al-Qur`an di sakunya. Sekarang Al-Qur`an sering teringgal di rumah, meski memang dengan perkembangan teknologi, kini Al-Qur`an sudah bisa masuk dalam ponsel. Dulu, sebagian besar ikhwah maupun akhwat kerap memanfaatkan waktu rehatnya dengan membaca dan menghafal Al-Qur`an. Sekarang sebagian ikhwah maupun akhwat sering terlihat sibuk mengutak-atik handphone-nya di saat-saat jeda acara, atau bahkan di saat acara tengah berlangsung.

Tulisan ini hanya sekedar untuk mengingatkan tentang fitnah harta, jabatan, dan kekuasaan sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-Qur`an al-Karim dan Hadits Rasulullah Saw. Harta, jabatan, dan kekuasaan itu pasti akan menyibukkan seseorang dan menyita waktu dan pikirannya, sehingga akan mengurangi kekhusyu’an dalam beribadah kepada Allah Swt.

Ingatlah kisah sahabat Nabi Saw. yang bernama Tsa’labah. Ketika dalam kondisi miskin, ia termasuk orang yang rajin shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw., akan tetapi ketika Allah Swt. menganugerahinya harta, maka mulailah hartanya itu menggerogoti keimannya. Ia mulai terlambat shalat, lantaran hewan-hewan ternaknya butuh waktu dan perhatiannya. Tsa’labah mulai sibuk menghitung-hitung harta dan tabungannya. Sibuk membuat perencanaan-perencanaan masa depan diri dan keluarganya. Pikirannnya mulai mengkhayalkan rumah dan kendaraan baru. Sibuk merencanakan bisnis dan proyek baru. Akhirnya, Tsa’labah tidak pernah lagi terlihat shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw.

Tsa’labah mulai terbiasa dengan pola hidupnya yang baru, seakan-akan tidak ada perubahan berarti dalam hidupnya. Ia mulai terbiasa shalat di tempat kerjanya, dekat dengan hewan-hewan ternaknya. Dia mulai memperhitungkan setiap detik waktu yang dilaluinya dengan prinsip time is money. Dalam kisah tersebut, akhirnya Tsa’labah benar-benar menginggalkan kewajibannya kepada Allah, hingga Allah Swt. menenggelamkan Tsa’labah bersama seluruh hartanya.

Alternatif Solusi

IbnuQayim Rahimahullah dalam kitabnya ”Al-Fawaid” menjelaskan tentang jebakan-jebakan kehidupan dunia. Beliau menjelaskan bahwa setiap perbuatan manusia, selalu diawali oleh lintasan-lintasan (khawatir) atau gagasan. Faktor inilah yang mengundang munculnya tashawur (gambaran). Dari sini kemudian muncul iradah (kemauan) yang selanjutnya mendorong kehadiran perbuatan (’amal). Apabila perbuatan itu terjadi berulang kali, maka ia akan menjadi kebiasaan.

Oleh karena itu, Ibnu Qayim menegaskan, ”Lawanlah setiap lintasan buruk. Karena jika dibiarkan, ia akan berubah mejadi fikrah (gagasan) buruk. Singkirkanlah fikrah buruk itu, karena jika dibiarkan, ia akan berubah menjadi iradah atau ’azimah (tekad) yang buruk. Perangilah tekad yang buruk itu, karena kalau dibiarkan, ia akan berubah menjadi perbuatan buruk. Dan jika perbuatan buruk itu tidak dilawan, bahkan dilakukan secara berulang-ulang, maka ia akan berubah menjadi kebiasaan buruk. Bila perbuatan buruk itu sudah menjadi kebiasaan, maka kita akan sulit untuk meninggalkannya.”

Setiap tahapan dalam perbuatan, yaitu khawatir-tashawur-iradah-’amal tidak akan meningkat ke tahapan berikutnya sebelum mencapai kestabilan. Misalnya, khawatir tidak akan berubah menjadi tashawur sebelum khawatir itu mencapai kestabilan dan kematangan. Ketika seseorang berada pada level kestabilan dan kematangan baru, umumnya mereka tidak merasakan adanya perubahan yang signifikan pada dirinya. Artinya, perubahan perilaku atau gaya hidup yang terjadi pada seseorang seringkali tidak atau kurang dirasakan oleh dirinya, akan tetapi orang lain melihat perubahan itu secara mencolok.

Maka, agar tidak terbawa arus pusaran gaya hidup Qarusnisme – meminjam istilah ustadz Pondok Gede – maka setiap kader dakwah yang sering bersentuhan dengan pola hidup kalangan atas atau kaum elit, apakah itu di legislatif, eksekutif, atau yudikatif harus sering-sering turba (turun ke bawah) menemui kader-kader dakwah yang beraktifitas di kalangan grass root.

Idealnya seperti Khalifah Umar bin Khathtab yang keliling kampung untuk melihat secara langsung kehidupan rakyatnya. Penting juga untuk para kader dakwah yang saat ini mendapatkan amanah dakwah di lingkungan elit untuk mencari tahu tentang kader-kader dakwah di grass root yang masih bermasalah dalam ma’isyah. Atau menanyakan ke sekolah-sekolah tempat para ikhwah menyekolahkan anak-anaknya tentang siapa saja yang sering menunggak SPP. Atau solusi lain yang membuat para kader dakwah di kalangan elit tidak ”melambung terus ke angkasa” sehingga melupakan yang di bawah. Wallahu a’lam bishshawab.

1 komentar:

Anonymous said...

syukron untuk artikelnya, ijin copy ya?

Post a Comment

Silahkan komentari dengan santun. NO 4 spam.