Teman kecilku

on Sunday, January 24, 2010

Di suatu kesempatan, suami bercerita tentang teman-teman SD, yang kini sudah beranak pinak di kampung halaman. Hanya beberapa saja yang keluar kampung, dan merubah nasib keluarganya menjadi lebih baik. Tidak sampai menghabiskan 10 jari untuk menghitung teman-temannya yang berani bergerak keluar.Selebihnya menikah di usia muda, punya anak, jadi petani, ngarit, merabot, ngangon sapi, tandur di Sawah dan menjalani hidup khas desa, mengalir pelan dan mendayu. Putaran waktu yang bergegas di belahan bumi lain, seolah masuk dalam kotak sehingga ia tak banyak merubah wajah gedung SD di angka 27 tahun sejak saat pertama kali menapakan kaki mungil di halaman gedung yang dulu terasa berdiri kokoh berkharisma. Ingatanku pun melayang, ke sebuah sudut di Desa Sukatani Garut. Bangunan SD-ku!!

Terakhir melihatnya di Oktober 2009,melihatnya begitu menggetarkan, Dulu bangunan itu terasa tinggi dan luas namun di usia 32 tahunku, sosoknya menjadi tidak terlalu tinggi. Bangunan lama masih seperti dulu. Ruang kepala sekolah Pak Karman yang sekaligus ruang Perpustakaan, Ruang kelas yang lantainya lebih tinggi dari lainnya, sekaligus jadi panggung yang semarak bila acara kenaikan kelas, ruang guru, ruang kelas sampai ke ujung untuk kelas 6, satu ruang kelas di bawah untuk kelas 1 yang bergantian dengan kelas 2, lapangan yang dulu terasa sangat luas, kini tidak lebih dari sebidang tanah 200 meterean tempat dulu kami upacara. Dan di depan lapang 3 rumah dinas yang dulu di tempati Pak Apon guru wali kelas 6 ku yang sangat bersahaja, Bu Wawang, dan Bu Eneng, sekarang hanyalah seonggok bangunan tua yang tak terurus. Terharu, pilu, melihat setiap sudutnya. Di sinilah awal belajarku, tempaan guru-guru yang kucintai. Mereka adalah pembuat maha karya yang menorehkan berlaksa pengalaman, ilmu, yang tak mungkin lekang di makan jaman.

Dan teman-temanku???
Yang perempuan: Santi temen sebangku, kemudian kuliah di UNSIL, kehidupan menerbangkan kami kemana-mana sehingga jarang bertemu. Tak pernah bersua. Sempurna menjadi sosok asing satu sama lain. Pipih (almarhumah), Lilis, Dede, Suryati, Ningsih yang kini menetap di sidoarjo, Hera yang jadi perawat dan nikah dengan perawat pula, si kembar Erna Erni yang bagai air mengalir, sampai menikah dan punya anak tetap di kampung halaman, Enok yang ibunya pintar masak dan sering membuatkan bakwan enak kalo kami mampir main ke rumahnya sekrang jadi ahli buat bugis di restoran Megawati, dan Lia. Yang terakhir ini, di awal kedatangannya pindah dari Bandung, mewarnai masa kanakku dengan gaya anak SD yang lagi puber. Dikejar-kejar Arif & Dedih,..namun takdir tidak merelakannya untuk bersama Dedih Atau Arif, jodoh menghadiahinya Pak Isom, pengusaha heleran . Hidup lumayan makmur, begitupun badanya juga makmur…

Jagoan-jagoan: Si Kembar Edwan Edwin( Almarhum Edwin meninggal tahun 2009, kena jantung, di masa lajangnya),Taufik yang sekarang masih neruskan kuliah, Riki yang sekolah Teknik Sipil di ITS, Agung seorang akademi Pelaut, Dadang yang katanya pernah jadi tukang kredit, Budi yang jadi Pak Guru, Sugandi, Jajang, Yana , Dede Saefullah, Dede jangkung dan Dedi.

Yang di sebut terakhir ini, kedatangannya bagai kilat. Secepat itu datang, secepat itu pergi. Namun sosokya masih lekat dalam ingatan. Dedi!!! Entah pindahan dari mana. Dia datang saat kelas 5 SD. Kesan yang mendalam darinya adalah sikap santun pada siapa pun. Pada saat itu kebiasaan yang bagi sebagian kami di kampong hanya di lakukan pada orang tua, bahkan sebagain besar tidak melakukannya, yaitu mencium tangan saat berangkat meninggalkan rumah, dan saat datang. Termasuk aku saat itu. Kalau berangkat sekolah biasanya Cuma bilang, “ Mah..pah..angkat heula” dan begitu pula sebagian besar anak-anak yang lain. Bahkan banyak yang berangkat tanpa pamit. Atau bahkan dikata-katai karena merengek minta uang jajan. Di Kampung ketika itu, Kami yang anak-anak jarang diajarkan berekspresi seperti itu. Dibanding dengan dengan kalangan terpelajar&tercerahkan, begitu gamblang mereka mengajarkan berbagai ekspresi pada anak. Ekspresi senang, tidak suka, pengertian, menghargai, pelukan, kata sayang, mendengarkan dengan perhatian, dan sebagainya. Dulu aku kira, hanya menemukan itu di film-film, ternyata begitulah mereka adanya. Satu kelebihan yang menurutku sangat baik untuk perkembangan jiwa anak-anak. Sehingga anak-anak tidak hidup dengan gersang, hanya menerima pelototan ketika salah, dibentak ketika keliru, dijewer ketika naluri kanak-kanaknya mencoba-coba, tidak boleh berargumen karena itu berarti membantah. Kecerdasan sosial yang akhirnya kurang terasah, padahal inilah yang kemudian menempati ruang besar dalam rumah keberhasilan seseorang.

Balik lagi ke Dedi, tentang kebiasaan baik mencium tangan ini, dia terapkan juga di sekolah. Ketika dia sampai di Sekolah. Setelah nyimpen tas, dia langsung ke ruang Guru, menciumi semua tangan guru-guru tanpa terlewat. Begitulah seharusnya kita memperlakukan guru layaknya orang tua, begitu mungkin pesan yang ingin disampaikannya. Keanehan ini sontak membuat guru-guru kaget. Dedi jadi perhatian. Kebaikannya sering di singgung semua Guru dengan bangga. Karena selama berpuluh-puluh tahun tak pernah diperlakukan seperti itu mungkin. Saat semua guru menyinggung kebaikan dedi dan adiknya itu, secara tidak langsung kami terjemahkan kurang lebih begini, ” contohlah anak baik itu anak-anak!!”

Dan tahukan apa yang terjadi sesudahnya teman-teman?? Kami, seluruh murid SDN Cihideung Garut, mulai meniru kebaikan Dedi dan adiknya. Setiap guru yang kami temui, kami salami. Semua berebutan. Guru yang baru datang, bak selebritis, kami berebut menciumi tangan-tangan guru itu, walau sebagian kami mungkin nggak ikhlas melakukannya, bahkan nggak tau untuk apa semua ini, atau karena kami takut ketauan ngak menciumi tangan guru sementara yang lain berebut mencium tangan mereka. Tentu bisa-bisa di nilai jelek oleh bapak ibu guru. Maka jadilah ritual mencium tangan itu, seolah kewajiban yang sepi dari rasa hormat, sepi rasa, sehampa udara. Begitulah setiap hari, kami berebutan menciumi tangan guru-guru kami, sehingga bisa dipastikan bahwa waktu itu Dedi dan adiknya bukan lagi murid aneh, karena seluruh murid SDN Cihideung menjadi ‘aneh’. Suasana berebutan, persis suasana rebutan sembako murah kalau ada operasi murah di pasar. Kadang sikut-sikutan. Anak-anak yang lagi maen badminton, berhenti, menyelingi dengan mencium tangan guru yang baru datang, begitu pun yang lagi maen karet, yang lagi ucing-ucingan, yang lagi pegang cireng sama saos, yang lagi pegang bala-bala, yang lagi nyeruput bubur ayam, seeeemuanya dari kelas satu sampai kelas 6. ( yaa..Allah..saat menuliskannya, masih teringat jelas, bagaimana kami berhamburan…) Dan begitulah berulang bila ada guru yang baru datang. Di hari pertama semua anak euphoria dengan cium tangan itu, kami bisa melihat mata guru-guru yang haru, senyum yang dikulum, bangga. Namun hari-hari kemudian, masih lekat dalam ingatan, bagaimana ekspresi Pak Dadeng guru Matematikaku yang galak sekaligus hebat dan kubanggakan, lurus,tanpa ekspresi, begitupun Bu Wawang, Pa Tatang, Pa Apon, Bu eneng, …semuanya. Mereka letih, dan sebenarnya sih kami pun letih. Tapi sepertinya kami pun tak tau harus mengakhiri ‘keanehan’ ini. Aku sudah lupa berapa lama itu berlangsung, mungkin skitar seminggu, sampai pada suatu hari terjadilah cerita ini.

Saat menunggu bel bunyi, seperti biasa semua anak-anak bermain dengan caranya masing-masing, ketika itu Bu Wawang baru datang, dan seperti hari sebelumnya, semua dengan serentak berebut mencium tangan, ramai sekali, sikut menyikut karena semua nggak sabar menunda acara maen . Kemudian terdengar pekik Bu Wawang, mengaduh. Kebetulan waktu itu aku masih antri di belakang anak-anak kelas di bawah kami yang bergerombol. Bu Wawang meringis mengangkat tangannya, anak-anak semburat tak karuan, saat itu aku masih penasaran kenapa. Sepintas aku melihat cairan kental, lengket, agak kehijauan melekat erat di punggung tangan kanannya ….yaccckkk!!!!

Dan sepintas pula aku melihat seorang anak laki-laki terakhir berjalan menunduk ketakutan dan malu, dengan tangannya mengelap hidungnya kea rah samping. Sehingga demikian jelas jejak di pipinya, cairan kental, lengket kehijauan itu….

Rupanya kejadian itu, insident cairan hijau lengket itu, jadi momentum untuk menghentikan “keanehan” itu. Setelah peristiwa itu, praktis kami dihimbau untuk tidak mencium tangan guru-guru lagi, mereka mengatakan sudah memahami bahwa kami menghormati mereka sebagaimana hormat kepada orang tua kami sendiri. Tapi yang luar biasa adalah, kebiasaan baik itu ku terapkan di rumah. Kaku pada awalnya, tapi betapa membahagiakan setelah jadi kebiasaan. …
Dan Dedi…entah kemana anak itu pergi?

Sementara kehidupan membawaku hampir ke ujung Timur pulau Jawa. Mendidiku untuk hanya tergantung padaNYA, menjelajahi bagian bumi lainnya, mencermati banyak peristiwa, menikmati banyak perubahan,pun berjuang bersama ujian.

Begitulah kehidupan pada akhirnya,berputar laksana roda, bergerak tak pernah berlama-lma di suatu titik. Dan waktu memperlihatkan sifat aslinya, berputar cepat, meninggalkan kerugian bagi yang tak sudi mengikuti sunnah dan aturanNYA. Ah..Rabbi semoga suatu saat KAU beri kesempatan jiwa raga ini bermanfaat untuk kampung halamanku , guru-guru tercinta, juga teman-teman kecilku….. Aamin

“Demi waktu. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, orang-orang yang beramal sholeh, dan saling mengingatkan untuk berbuat yang benar dan bersabar” (Q.S Al Ashr :1-4)

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan komentari dengan santun. NO 4 spam.